Sebuah komunike dikeluarkan oleh Departemen untuk urusan tawanan Palestina bahwa pendudukan Zionis Israel dalam periode terakhir melakukan serangan yang targetkan terfokus pada psikologis para tawanan perempuan, termasuk pemukulan, penyiraman dengan gas, dan pelecehan terhadap kehormatan perempuan. Semua ini merupakan bentuk pelanggaran serius terhadap prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM) dan bertentangan dengan semua konvensi internasional dan kemanusiaan. Sehingga, Departemen untuk urusan tawanan Palestina menuntut untuk memberikan tekanan pada Zionis Israel agar membebaskan semua tawanan perempuan.
Dalam komunike itu dijelaskan bahwa dari 45 tawanan perempuan, tiga di antaranya adalah anak di bawah umur, usia mereka kurang dari delapan belas tahun. Mereka hingga kini masih berada dalam penjara Hasharon dan Damon. Mereka itu termasuk di antara tujuh ratus perempuan yang diculik selama berlangsungnya Intifada Al-Aqsa. Dijelaskan juga bahwa pendudukan Zionis Israel telah menculik hampir sepuluh ribu tawanan perempuan sejak tahun 1967.
Komunike itu memperingatkan bahwa salah seorang tawanan perempuan yang masih di bawah umur itu sering menghadapi tindakan percobaan pelecehan seksual. Hal ini terungkap melalui pengakuan para tawanan perempaun kepada para pengacara dari Departemen untuk urusan tawanan Palestina dalam kunjungannya yang terakhir, serta berbagai penderitaan lain yang dialami oleh para tawanan perempuan pada umumnya.
Penyiksaan Sistematis
Dalam komunike itu dikatakan bahwa intelijen Zionis Israel tidak membedakan antara tawanan laki-laki dan tawanan perempuan. Sebab, tawanan perempuan pun juga menghadapi pemukulan, penghinaan, intimidasi, dan perlakuan kejam. Sebagaimana pada unit tentara Zionis Israel tidak disertai dengan seorang tentara perempuan yang akan bertugas untuk menangkap kaum perempuan.
Dalam komunike itu dipaparkan kesaksian seorang tawanan perempuan, Qahirah Saadi, seorang ibu dari empat anak. Ia telah dijatuhi hukuman seumur hidup sebanyak tiga kali, di samping dijatuhi hukuman selama tiga puluh tahun. Ia mengatakan bahwa selama dalam penjara para tentara Zionis Israel, ia sering dipukuli, dicaci, dan dilecehkan dengan derbagai bentuk penghinaan, dengan menyebutnya sebagai perempuan keji dan kotor.
Ia mengatakan bahwa setelah ia ditangkap oleh tentara Zionis Israel, maka ia pun dipukuli dengan popor senapan, diinterogasi dalam keadaan telanjang, ditempatkan di tempat menakutkan selama beberapa hari sambil tangan dan kaki diikat pada kusi dalam sebuah ruang tahanan yang sepi dan sunyi. Tempat ini merupakan pusat interogasi para kepala sipir penjara yang ada di Al-Quds (Yerusalem) yang diduduki Zionis Israel.
Saadi juga menjelaskan bahwa kemudian ia dipindahkan ke penjara bawah tanah yang tanpa cahaya, sangat lembab sekali, dan penuh dengan kecoak, serangga dan juga tikus. Ia dimasukkan dalam penjara bawah tanah ini selama sembilan hari.
Penderitaan Terus Berlanjut
Menurut komunike itu, para tawanan perempuan mengadukan tentang kondisi dalam penjara. Mereka menjelaskan bahwa mereka diperlakukan sangat kasar dan kejam. Mereka hidup dalam kondisi yang tak tertahankan termasuk aspek-aspek hidup dan psikologis oleh tindakan-tindakan manajemen penjara.
Mereka mengeluhkan bahwa hidup sangat berdesak-desakan di dalam ruang penjara, penyebaran penyakit kulit akibat kelembaban yang tinggi, dan mereka tidak mendapatkan pelayanan pengobatan (kesehatan) yang layak dari manajemen penjara.
Komunike itu memperingatkan bahwa penderitaan bagi para tawanan perempuan yang telah menikah adalah dua kali lipat. Dikatakan tentang keadaan tawanan perempuan yang dibebaskan, Khawlah Muhammad Zitawi, yang ditahan setelah suaminya, di mana ketika ditahan ia meninggalkan dua anak perempuan yang masih kecil. Dan selama tujuh hari dalam penjara ia mendapatkan berbagai model penyiksaan psikologis dan fisik.
Menurut sebuah pernyataan yang disertai dengan kutukan kepada Zionis Israel dari seorang perempuan yang pernah merasakan kejamnya penjara Israel. Ia berkata: “Saya ditempatkan di ruang sepi dan menakutkan sendirian di atas kursi. Kedua tangan saya diborgol ke belakang selama berjam-jam. Kemudian saya diinterogasi dengan alat pendeteksi kebohongan beberapa kali, dan pada saat diinterogasi itu saya pingsan. Sehingga, tiba-tiba saya merasa bahwa saya sudah ada di rumah sakit, dengan kedua tangan dan kaki saya diborgol, dan kedua mata saya juga ditutupi.”
Zitawi mengatakan bahwa para penculik itu mengancamnya, dengan ancaman bahwa ia selamanya tidak akan pernah lagi melihat anak-anaknya setelah hari ini, kecuali ia mau mengakui apa yang dituduhkan terhadap dirinya.
Tidak Boleh Ada Kunjungan
Komunike ini juga mejelaskan tentang apa yang dianggapnya sebagai hukuman kolektif terhadap para tawanan perempuan, tawanan politik, dan keluarganya melalui rintangan dan hambatan yang diciptakan oleh otoritas penjara di depan mereka, dengan persyaratan bahwa mereka telah mendapatkan izin khusus untuk dapat mengunjungi anak-anak mereka dan kerabat mereka yang ditangkap dan dipindahkan oleh Israel ke penjara-penjara yang ada di dalam wilayah Israel.
Komunike itu menegaskan bahwa tindakan kejam dan keji ini bertentangan dengan pasal (49) dari konvensi Jenewa tentang perlindungan warga sipil di saat perang, yang melarang pemindahan secara massal maupun perorangan terhadap warga yang dilindungi dari wilayah yang dijajah ke wilayah penjajah, maka apapun alasannya pemindahan tersebut dilarang.
Beberapa tawanan perempuan mengatakan bahwa anggota keluarga mereka tidak dapat mengunjunginya, atau bahkan berbicara kepada mereka melalui telepon sekalipun tidak diperbolehkan.
Juga tidak memberikan kepada para tawanan perempuan waktu kunjungan khusus ke rumah, sekalipun dalam situasi yang paling darurat. Sebagaimana manajemen penjara membuat berbagai aturan kepada keluarga tawanan, seperti memeriksa dengan membuka seluruh pakaian, sebelum mereka diperbolehkan untuk memasuki ruang kunjungan, dan hal yang sama juga dilakukan terhadap anak-anak.
Seruan
Departemen untuk urusan tawanan dan mantan tawanan mengeluarkan seruan dalam komunikenya, yang isinya menuntut pembebasan semua tawanan Palestina, terutama para tawanan perempuan, dan menghentikan pelanggaran terhadap mereka.
Begitu juga meminta masyarakat internasional dan lembaga-lembaga hak asasi manusia, lembaga-lembaga dan organisasi solidaritas rakyat Palestina untuk membuat tekanan kepada otoritas pendudukan Zionis Israel supaya menghentikan pelanggaran terhadap hak-hak tawanan perempuan Palestina, yang melebihi standar dan norma-norma kemanusiaan.
Dan menyerukan perlunya memberikan dukungan sebanyak mungkin terhadap masalah tawanan perempuan untuk memperkuat keteguhan mereka selama dalam penahanan.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !