Rangkaian Teror berupa penembakan terhadap anggota TNI,Polri dan masyarakat sipil di Papua dalam beberapa waktu terakhir ini terungkap sudah dalang dan pelaku di belakangnya.
Tertembaknya Mako Tabuni salah satu pimpinan organisasi Papua Merdeka (OPM) oleh aparat keamanan seolah menjadi jawaban tentang pertanyaan siapa dalang di balik Teror di Papua.Penembakan terhadap Tabuni kemudian berlanjut dengan penangkapan beberapa anggota separatis Papua yang dalam penangkapannya aparat keamanan menyita beberapa barang bukti seperti senjata api dan atribut organisasi gerakan sparatis OPM.
Penemuan dari aparat keamanan ini lebih mengejutkan masyarakat Indonesia ketika ditambah dengan ditemukannya kamp latihan militer milik Organisasi Papua Merdeka di Yapen Waropen. Dan pada senin (25/06/2012) 11 orang warga papua menyerahkan diri kepada aparat keamanan terkait latihan militer di Yapen Waropen.
Sekedar mengingatkan dan membandingkan dengan peristiwa dua tahun yang lalu di pegunungan Jalin Janto Aceh. Yaitu peristiwa penggerebekan kamp latihan Militer "Teroris" (Mujahidin) pada bulan maret 2010. Dalam rangkaian peristiwa penggerebekan dan pengungkapan latihan militer di pegunungan Aceh tersebut, setidaknya aparat Thoghut menembak tujuh orang terduga Teroris (Mujahid) dan menangkap lebih dari lima puluh orang yang terlibat dalam latihan militer tersebut.
Mereka semua yang ditangkap diproses dengan hukum (thoghut) yaitu dijerat dengan Undang-undang No 15 tahun 2003 tentang pemeberantasan tindak pidana terorisme. Dan semua yang telah ditangkap dan dianggap terlibat dalam latihan militer tersebut kini telah divonis dan tengah menjalani hukuman di dalam penjara Thoghut.
Terkait dengan penangkapan para anggota sparatis OPM di Papua yang juga melakukan Latihan Militer timbul satu pertanyaan di benak saya,"apakah para sparatis tersebut juga disebut Teroris dan akan dijerat dengan Undang-undang No 15 tahun 2003?".
Sebab jika dilihat dari modus dan unsur yang ada dalam peristiwa Teror di Papua dan latihan Militer oleh OPM sesungguhnya telah memenuhi kriteria tindakan terorisme, jika yang dijadikan rujukan adalah Undang-undang No 15 tahun 2003. Namun hal tersebut menjadi tidak terjadi jika penerapan Undang-Undang No 15 tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana Terorisme lebih dilatar belakangi oleh sentimen Idiologi. Sebab fakta yang terjadi di lapangan seperti itu.
Jika yang melakukan tindakan teror dan latihan militer adalah dari kelompok Islam maka akan disebut teroris dan dijerat dengan Undang-undang pemberantasan tindak pidana terorisme. Namun jika yang melakukan teror, latihan militer dan memiliki senjata api di luar kelompok Islam (seperti kelompok Kristen) maka tidak akan disebut Teroris dan tidak dijerat dengan Undangh-undang No 15 tahun 2003.Apa yang terjadi di Ambon bisa menjadi contoh tentang standar ganda yang dilakukan oleh Thoghut dalam penerapan undang-undang No 15 Tahun 2003.
Di Ambon ada lebih dari 20 orang warga muslim yang dijerat dan divonis dengan undang-undang No 15 tahun 2003 karena melakukan kekerasan dengan menggunakan senjata api, memiliki dan menyimpan senjata api dan melakukan latihan militer. Bersamaan dengan itu tidak satu orang pun dari kelompok nasrani yang dijerat dan divonis dengan menggunakan undang-undang No 15 tahun 2003 meskipun mereka melakukan kekerasan dengan senjata api dan bom dan memiliki serta menyimpan senjata api dan bahan peledak.
Pertanyaan yang masih tersisa dari peristiwa Teror di Papua adalah :
- Apakah Densus 88 kaki tangan Amerika akan diterjunkan di Papua untuk menangkap para pelaku Teror?
- Apakah BNPT dengan dibantu oleh para LSM akan melakukan program Deradikalisasi terhadap para mantan kombatan OPM seperti yang dilakukan terhadap aktifis Islam di Ambon dan Poso?
-Apakah akan ada dari para pengamat yang mengurai, menganalisa dan melakukan penelitian terhadap organisasi sparatis OPM seperti yang mereka lakukan terhadap kelompok Islam?.
Wallohu a'lam
Abu Fida 'Azizah
Mantan Narapidana Teroris (versi Thoghut)
Assalamu`alaikum Sahabat.
BalasHapusMereka adalah non-muslim sudah tentu mereka bukan teroris :)