Semenjak awal sejarah Islam, Palestina, dan  kota Yerusalem khususnya, telah menjadi tempat suci bagi umat Islam.  Sebaliknya bagi Yahudi dan Nasrani, umat Islam telah menjadikan kesucian  Palestina sebagai sebuah kesempatan untuk membawa kedamaian kepada  daerah ini. Dalam bab ini kita akan membahas beberapa contoh sejarah  dari kenyataan ini. 
'Isa (Yesus), salah satu nabi yang diutus  kepada umat Yahudi, menandai titik balik penting lainnya dalam sejarah  Yahudi. Orang-orang Yahudi menolaknya, dan kemudian diusir dari  Palestina serta mengalami banyak ketidakberuntungan. Pengikutnya  kemudian dikenal sebagai umat Nasrani. Akan tetapi, agama yang disebut  Nasrani atau Kristen saat ini didirikan oleh orang lain, yang disebut  Paulus (Saul dari Tarsus). Ia menambahkan pemandangan pribadinya tentang  Isa ke dalam ajaran yang asli dan merumuskan sebuah ajaran baru di mana  Isa tidak disebut sebagai seorang nabi dan Al-Masih, seperti  seharusnya, melainkan dengan sebuah ciri ketuhanan. Setelah dua setengah  abad ditentang di antara orang-orang Nasrani, ajaran Paulus dijadikan  doktrin Trinitas (Tiga Tuhan). Ini adalah sebuah penyimpangan dari  ajaran Isa dan pengikut-pengikut awalnya. Setelah ini, Allah menurunkan  Al-Qur'an kepada Nabi Muhammad SAW sehingga beliau bisa mengajarkan  Islam, agama Ibrahim, Musa, dan Isa, kepada seluruh umat manusia.
Yerusalem itu suci bagi umat Islam karena dua  alasan: kota ini adalah kiblat pertama yang dihadapi oleh umat Islam  selama ibadah sholatnya, dan merupakan tempat yang dianggap sebagai  salah satu mukjizat terbesar yang dilakukan oleh Nabi Muhammad: mikraj,  perjalanan malam dari Mesjid Haram di Mekkah menuju Mesjid Aqsa di  Yerusalem, kenaikannya ke langit, dan kembali lagi ke Mesjid Haram.  Al-Qur'an menerangkan kejadian ini sebagai berikut:
Maha Suci Allah, yang telah  memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al  Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami  perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami.  Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Qur'an,  17:1)
Dalam wahyu-wahyu Al-Qur'an kepada Nabi SAW, sebagian besar ayat-ayat yang berkesesuaian mengacu kepada Palestina sebagai “tanah suci, yang diberkati.” Ayat 17:1  menggambarkan tempat ini, yang di dalamnya ada Mesjid Aqsa sebagai tanah “yang Kami berkati disekelilingnya.” Dalam ayat 21:71, yang menggambarkan keluarnya Nabi Ibrahim dan Luth, tanah yang sama disebut sebagai “tanah yang Kami berkati untuk semua makhluk.”               Pada saat bersamaan, Palestina secara keseluruhan penting  artinya bagi umat Islam karena begitu banyak nabi Yahudi yang hidup dan  berjuang demi Allah, mengorbankan hidup mereka, atau meninggal dan  dikuburkan di sana. 
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan dalam  2000 tahun terakhir, umat Islam telah menjadi satu-satunya kekuatan yang  membawa kedamaian kepada Yerusalem dan Palestina.
Khalifah Umar Membawa Perdamaian dan Keadilan bagi Palestina
![]() Qubbat as-Sakhrah  | 
Setelah Roma mengusir Yahudi dari Palestina, Yerusalem dan sekitarnya menjadi lenyap.
Akan tetapi, Yerusalem kembali menjadi pusat  perhatian setelah Pemerintah Romawi Constantine memeluk agama Nasrani  (312). Orang-orang Roma Kristen membangun gereja-gereja di Yerusalem,  dan menjadikannya sebagai sebuah kota Nasrani. Palestina tetap menjadi  daerah Romawi (Bizantium) hingga abad ketujuh, ketika negeri ini menjadi  bagian Kerajaan Persia selama masa yang singkat. Akhirnya, Bizantium  kembali menguasainya.
Tahun 637 menjadi titik balik penting dalam  sejarah Palestina, karena setelah masa ini daerah ini berada di bawah  kendali kaum Muslimin. Peristiwa ini mendatangkan perdamaian dan  ketertiban bagi Palestina, yang selama berabad-abad telah menjadi tempat  perang, pengasingan, penyerangan, dan pembantaian. Apa lagi, setiap  kali daerah ini berganti penguasa, seringkali menyaksikan kekejaman  baru. Di bawah pemerintahan Muslim, penduduknya, tanpa melihat keyakinan  mereka, hidup bersama dalam damai dan ketertiban.
Palestina ditaklukkan oleh Umar Bin Khattab,  khalifah kedua. Ketika memasuki Yerusalem, toleransi, kebijaksanaan, dan  kebaikan yang ditunjukkannya kepada penduduk daerah ini, tanpa  membeda-bedakan agama mereka menandai awal dari sebuah zaman baru yang  indah. Seorang pengamat agama terkemuka dari Inggris Karen Armstrong  menggambarkan penaklukan Yerusalem oleh Umar dalam hal ini, dalam  bukunya Holy War:
Khalifah Umar  memasuki Yerusalem dengan mengendarai seekor unta putih, dikawal oleh  pemuka kota tersebut, Uskup Yunani Sofronius. Sang Khalifah minta agar  ia dibawa segera ke Haram asy-Syarif, dan di sana ia berlutut berdoa di  tempat temannya Muhammad melakukan perjalanan malamnya.              Sang uskup melihatnya dengan ketakutan: ini, ia pikir,  pastilah akan menjadi penaklukan penuh kengerian yang pernah diramalkan  oleh Nabi Daniel akan memasuki rumah ibadat tersebut; Ia pastilah sang  Anti Kristus yang akan menandai Hari Kiamat. Kemudian Umar minta melihat  tempat-tempat suci Nasrani, dan ketika ia berada di Gereja Holy  Sepulchre, waktu sholat umat Islam pun tiba. Dengan sopan sang uskup  menyilakannya sholat di tempat ia berada, tapi Umar dengan sopan pula  menolak. Jika ia berdoa dalam gereja, jelasnya, umat Islam akan  mengenang kejadian ini dengan mendirikan sebuah mesjid di sana, dan ini  berarti mereka akan memusnahkan Holy Sepulchre. Justru Umar  pergi sholat di tempat yang sedikit jauh dari gereja tersebut, dan cukup  tepat (perkiraannya), di tempat yang langsung berhadapan dengan Holy  Sepulchre masih ada sebuah mesjid kecil yang dipersembahkan untuk  Khalifah Umar. 
Mesjid besar Umar lainnya didirikan di  Haram asy-Syarif untuk menandai penaklukan oleh umat Islam, bersama  dengan mesjid al-Aqsa yang mengenang perjalanan malam Muhammad. Selama  bertahun-tahun umat Nasrani menggunakan tempat reruntuhan biara Yahudi  ini sebagai tempat pembuangan sampah kota. Sang khalifah membantu umat  Islam membersihkan sampah ini dengan tangannya sendiri dan di sana umat Islam membangun tempat sucinya sendiri untuk membangun Islam di kota suci ketiga bagi dunia Islam.9 
Pendeknya, umat Islam membawa peradaban bagi  Yerusalem dan seluruh Palestina. Bukan memegang keyakinan yang tidak  menunjukkan hormat kepada nilai-nilai suci orang lain dan membunuh  orang-orang hanya karena mereka mengikuti keyakinan berbeda, budaya  Islam yang adil, toleran, dan lemah lembut membawa kedamaian dan  ketertiban kepada masyarakat Muslim, Nasrani, dan Yahudi di daerah itu.  Umat Islam tidak pernah memilih untuk memaksakan agama, meskipun  beberapa orang non-Muslim yang melihat bahwa Islam adalah agama sejati  pindah agama dengan bebas menurut keinginannya sendiri.
Perdamaian dan ketertiban ini terus berlanjut  sepanjang orang-orang Islam memerintah di daerah ini. Akan tetapi, di  akhir abad kesebelas, kekuatan penakluk lain dari Eropa memasuki daerah  ini dan merampas tanah beradab Yerusalem dengan tindakan tak  berperikemanusiaan dan kekejaman yang belum pernah terlihat sebelumnya.  Para penyerang ini adalah Tentara Perang Salib.
Kekejaman Tentara Perang Salib dan Keadilan Salahuddin
![]() Tentara Perang Salib merampas Yerusalem setelah pengepungan lima minggu, dilanjutkan perampasan perbendaharaan kota dan membantai orang-orang Yahudi dan Islam.  | 
Ketika orang-orang  Yahudi, Nasrani, dan Islam hidup bersama dalam kedamaian, sang Paus  memutuskan untuk membangun sebuah kekuatan perang Salib. Mengikuti  ajakan Paus Urbanius II pada 27 November 1095 di Dewan Clermont, lebih  dari 100.000 orang Eropa bergerak ke Palestina untuk “memerdekakan”  tanah suci dari orang Islam dan mencari kekayaan yang besar di Timur.  Setelah perjalanan panjang dan melelahkan, dan banyak perampasan dan  pembantaian di sepanjang perjalanannya, mereka mencapai Yerusalem pada  tahun 1099.  Kota ini jatuh setelah pengepungan hampir 5 minggu. Ketika  Tentara Perang Salib masuk ke dalam, mereka melakukan pembantaian yang  sadis. Seluruh orang-orang Islam dan Yahudi dibasmi dengan pedang. 
Dalam perkataan seorang ahli sejarah: “Mereka membunuh semua orang Saracen dan Turki yang mereka temui… pria maupun wanita.”10              Salah satu tentara Perang Salib, Raymond dari Aguiles, merasa bangga dengan kekejaman ini:
Pemandangan  mengagumkan akan terlihat. Beberapa orang lelaki kami (dan ini lebih  mengasihi sifatnya) memenggal kepala-kepala musuh-musuh mereka; lainnya  menembaki mereka dengan panah-panah, sehingga mereka berjatuhan dari  menara-menara; lainnya menyiksa mereka lebih lama dengan memasukkan  mereka ke dalam nyala api. Tumpukan kepala, tangan, dan kaki akan  terlihat di jalan-jalan kota. Perlu berjalan di atas mayat-mayat manusia  dan kuda. Tapi ini hanya masalah kecil jika dibandingkan dengan apa  yang terjadi pada Biara Sulaiman, tempat di mana ibadah keagamaan kini  dinyanyikan kembali… di biara dan  serambi Sulaiman, para pria  berdarah-darah disuruh berlutut dan dibelenggu lehernya.11
![]() Salahuddin al-Ayyubi, yang mengalahkan Tentara Perang Salib dalam pertempuran Hattin, tercatat dalam sumber sejarah dengan keadilan, keberanian, dan wataknya yang terhormat.  | 
Dalam dua hari,  tentara Perang Salib membunuh sekitar 40.000 orang Islam dengan cara tak  berperikemanusiaan seperti yang telah digambarkan.12               Perdamaian dan ketertiban di Palestina, yang telah  berlangsung semenjak Umar, berakhir dengan pembantaian yang mengerikan.
Tentara Perang Salib menjadikan Yerusalem  sebagai ibu kota mereka, dan mendirikan Kerajaan Katolik yang terbentang  dari Palestina hingga Antakiyah. Namun pemerintahan mereka berumur  pendek, karena Salahuddin mengumpulkan seluruh kerajaan Islam di bawah  benderanya dalam suatu perang suci dan mengalahkan tentara Perang Salib  dalam pertempuran Hattin pada tahun 1187. Setelah pertempuran ini, dua  pemimpin tentara Perang Salib, Reynald dari Chatillon dan Raja Guy,  dibawa ke hadapan Salahuddin. Beliau menghukum mati Reynald dari  Chatillon, yang telah begitu keji karena kekejamannya yang hebat yang ia  lakukan kepada orang-orang Islam, namun membiarkan Raya Guy pergi,  karena ia tidak melakukan kekejaman yang serupa. Palestina sekali lagi  menyaksikan arti keadilan yang sebenarnya.
Tiga bulan setelah pertempuran Hattin, dan  pada hari yang tepat sama ketika Nabi Muhammad SAW diperjalankan dari  Mekah ke Yerusalem untuk perjalanan mikrajnya ke langit, Salahuddin  memasuki Yerusalem dan membebaskannya dari 88 tahun pendudukan tentara  Perang Salib. Sebaliknya dengan “pembebasan” tentara Perang Salib,  Salahuddin tidak menyentuh seorang Nasrani pun di kota tersebut,  sehingga menyingkirkan rasa takut mereka bahwa mereka semua akan  dibantai. Ia hanya memerintahkan semua umat Nasrani Latin (Katolik)  untuk meninggalkan Yerusalem. Umat Nasrani Ortodoks, yang bukan tentara  Perang Salib, dibiarkan tinggal dan beribadah menurut yang mereka pilih.  
Karen Armstrong menggambarkan penaklukan keduakalinya atas Yerusalem ini dengan kata-kata berikut ini:
Pada tanggal 2  Oktober 1187, Salahuddin dan tentaranya memasuki Yerusalem sebagai  penakluk dan selama 800 tahun berikutnya Yerusalem tetap menjadi kota  Muslim. Salahuddin menepati janjinya, dan menaklukkan kota tersebut  menurut ajaran Islam yang murni dan paling tinggi. Dia  tidak berdendam untuk membalas pembantaian tahun 1099, seperti yang  Al-Qur’an anjurkan (16:127), dan sekarang, karena permusuhan dihentikan,  ia menghentikan pembunuhan (2:193-194). Tak ada satu orang  Kristen pun yang dibunuh dan tidak ada perampasan. Jumlah tebusan pun  disengaja sangat rendah…. Salahuddin menangis tersedu-sedu karena  keadaan mengenaskan keluarga-keluarga yang hancur terpecah-belah dan ia  membebaskan banyak dari mereka, sesuai imbauan Al-Qur’an, meskipun  menyebabkan keputusasaan bendaharawan negaranya yang telah lama  menderita. Saudara lelakinya al-Adil begitu tertekan karena penderitaan  para tawanan sehingga dia meminta Salahuddin untuk membawa seribu orang  di antara mereka bersamanya dan kemudian membebaskan mereka di tempat  itu juga… Semua pemimpin Muslim merasa tersinggung karena melihat  orang-orang Kristen kaya melarikan diri dengan membawa kekayaan mereka,  yang bisa digunakan untuk menebus semua tawanan… [Uskup] Heraclius  membayar tebusan dirinya sebesar sepuluh dinar seperti halnya tawanan  lain dan bahkan diberi pengawal pribadi untuk mempertahankan keselamatan  harta bendanya selama perjalanan ke Tyre.13              
Pendeknya, Salahuddin dan tentaranya  memperlakukan orang-orang Nasrani dengan kasih sayang dan keadilan yang  agung, dan menunjukkan kepada mereka kasih sayang yang lebih dibanding  yang diperlihatkan oleh pemimpin mereka.
![]() ![]() Ketika Raja Richard I dari Inggris merampas Kastil Acre, ia membantai orang-orang Islam. Lukisan di bawah ini menggambarkan hukuman mati atas ratusan tahanan beragama Islam. Mayat-mayat mereka dan kepala-kepala terpenggal ditumpuk di bawah panggung.  | 
Setelah Yerusalem, tentara Perang Salib  melanjutkan perbuatan tidak berprikemanusiaannya dan orang-orang Islam  meneruskan keadilannya di kota-kota Palestina lainnya. Pada tahun 1194,  Richard Si Hati Singa, yang digambarkan sebagai seorang pahlawan dalam  sejarah Inggris, memerintahkan untuk menghukum mati 3000 orang Islam,  yang kebanyakan di antaranya wanita-wanita dan anak-anak, secara tak  berkeadilan di Kastil Acre. Meskipun orang-orang Islam menyaksikan  kekejaman ini, mereka tidak pernah memilih cara yang sama. Mereka malah  tunduk kepada perintah Allah: “Dan janganlah  sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka  menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya  (kepada mereka)…”(Qur’an 5:2)              dan tidak pernah melakukan kekejaman kepada  orang-orang sipil yang tak bersalah. Di samping itu, mereka tidak pernah  menggunakan kekerasan yang tidak perlu, bahkan kepada tentara Perang  Salib sekalipun.
Kekejaman tentara Perang Salib dan keadilan  orang-orang Islam sekali lagi terungkap sebagai kebenaran sejarah:  Sebuah pemerintahan yang dibangun di atas dasar-dasar Islam memungkinkan  orang-orang dari keyakinan berbeda untuk hidup bersama. Kenyataan ini  terus ditunjukkan selama 800 tahun setelah Salahuddin khususnya selama  masa Ottoman.
Pemerintahan Kesultanan Ottoman yang Adil dan Toleran
![]() Setelah penaklukan Sultan Salim atas Yerusalem dan sekitarnya pada 1514, masa kedamaian dan keamanan selama 400 tahun dimulai di tanah Palestina.  | 
Pada tahun 1514, Sultan Salim menaklukkan  Yerusalem dan daerah-daerah sekitarnya dan sekitar 400 tahun  pemerintahan Ottoman di Palestina pun dimulai. Seperti di negara-negara  Ottoman lainnya, masa ini menyebabkan orang-orang Palestina menikmati  perdamaian dan stabilitas meskipun kenyataannya pemeluk tiga keyakinan  berbeda hidup berdampingan satu sama lain.
Kesultanan Ottoman diperintah dengan “sistem  bangsa (millet),” yang gambaran dasarnya adalah bahwa orang-orang dengan  keyakinan berbeda diizinkan hidup menurut keyakinan dan sistem hukumnya  sendiri. Orang-orang Nasrani dan Yahudi, yang disebut Al-Qur'an sebagai  Ahli Kitab, menemukan toleransi, keamanan, dan kebebasan di tanah  Ottoman.
Alasan terpenting dari hal ini adalah bahwa,  meskipun Kesultanan Ottoman adalah negara Islam yang diatur oleh  orang-orang Islam, kesultanan tidak ingin memaksa rakyatnya untuk  memeluk Islam. Sebaliknya kesultanan ingin memberikan kedamaian dan  keamanan bagi orang-orang non-Muslim dan memerintah mereka dengan cara  sedemikian sehingga mereka nyaman dalam aturan dan keadilan Islam.
Negara-negara besar lainnya pada saat yang  sama mempunyai sistem pemerintahan yang lebih kejam, menindas, dan tidak  toleran. Spanyol tidak membiarkan keberadaan orang-orang Islam dan  Yahudi di tanah Spanyol, dua masyarakat yang mengalami penindasan hebat.  Di banyak negara-negara Eropa lainnya, orang Yahudi ditindas hanya  karena mereka adalah orang Yahudi (misalnya, mereka dipaksa untuk hidup  di kampung khusus minoritas Yahudi (ghetto), dan kadangkala menjadi  korban pembantaian massal (pogrom). Orang-orang Nasrani bahkan tidak  dapat berdampingan satu sama lain: Pertikaian antara Protestan dan  Katolik selama abad keenambelas dan ketujuhbelas menjadikan Eropa sebuah  medan pertempuran berdarah. Perang Tiga Puluh Tahun (1618-1648) adalah  salah satu akibat pertikaian ini. Akibat perang itu, Eropa Tengah  menjadi sebuah ajang perang dan di Jerman saja, 5 juta orang (sepertiga  jumlah penduduknya) lenyap.
Bertolak belakang dengan kekejaman ini,  Kesultanan Ottoman dan negara-negara Islam membangun pemerintahan mereka  berdasarkan perintah Al-Qur'an tentang pemerintahan yang toleran, adil,  dan berprikemanusiaan. Alasan keadilan dan peradaban yang  dipertunjukkan oleh Umar, Salahuddin, dan sultan-sultan Ottoman, serta  banyak penguasa Islam, yang diterima oleh Dunia Barat saat ini, adalah  karena keimanan mereka kepada perintah-perintah Al-Qur'an, yang beberapa  di antaranya adalah sebagai berikut:
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu  menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu)  apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan  adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya  kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.  (Qur'an, 4:58)
Wahai orang-orang yang beriman, jadilah  kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah  biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika  ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka  janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari  kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan  menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa  yang kamu kerjakan. (Qur'an, 4:135)
![]() ![]() Penelitian tentang Palestina selama masa Ottoman terakhir mengungkap suatu kemajuan dalam kesejahteraan, perdagangan, dan industri di seluruh wilayah ini.  | 
Allah tidak melarang kamu untuk berbuat  baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena  agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah  menyukai orang-orang yang berlaku adil. (Qur'an, 60:8)
Dan kalau ada dua golongan dari mereka  yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Tapi  kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang  melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada  perintah Allah. Kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya  menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; sesungguhnya Allah  mencintai orang-orang yang berlaku adil. (Qur'an, 49:9)
Ada sebuah ungkapan yang digunakan dalam  politik bahwa “kekuasaan itu menyimpang, dan kekuasaan mutlak itu mutlak  menyimpang.” Ini berarti bahwa setiap orang yang menerima kekuasaan  politik kadangkala menjadi menyimpang secara akhlak karena kesempatan  yang ia peroleh. Ini benar-benar terjadi pada sebagian besar manusia,  karena mereka membentuk kehidupan akhlak mereka menurut tekanan sosial.  Dengan kata lain, mereka menghindari perbuatan tak berakhlak karena  mereka takut pada ketidaksetujuan atau hukuman masyarakat. Namun pihak  berwenang memberi mereka kekuasaan, dan menurunkan tekanan sosial atas  mereka. Akibatnya, mereka menjadi menyimpang atau merasa jauh lebih  mudah untuk berkompromi dengan kehidupan akhlak mereka sendiri. Jika  mereka memiliki kekuasaan mutlak (sehingga menjadi para diktator),  mereka mungkin mencoba untuk memuaskan keinginan mereka sendiri dengan  cara apa pun. 
![]() ![]() Dinasti Ottoman membawa perdamaian, stabilitas, dan peradaban ke seluruh tanah yang mereka taklukkan. Kita masih bisa menemukan air mancur, jembatan, penginapan, dan mesjid dari masa Ottoman di seluruh Palestina. (Kiri) Gerbang Pahlawan, abad ke-16 (Kanan) Khan al-Umdan  | 
Satu-satunya contoh manusiawi yang tidak  disentuh oleh hukum penyimpangan tersebut adalah orang yang dengan  ikhlas percaya kepada Allah, memeluk agamanya karena rasa takut dan  cinta kepada-Nya dan hidup menurut agama itu. Karena itu, akhlak mereka  tidak ditentukan oleh masyarakat, dan bahkan bentuk kekuasaan mutlak pun  tidak mampu mempengaruhi mereka. Allah menyatakan ini dalam sebuah  ayat: 
(yaitu) orang-orang yang jika Kami  teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan  sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah dari  perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.  (Qur'an, 22:41) 
Dalam Al-Qur'an, Allah menjadikan Daud AS,  sebagai contoh tentang penguasa yang ideal, yang menerangkan bagaimana  ia mengadili dengan keadilan orang-orang yang datang untuk meminta  keputusannya dan bagaimana ia berdoa dengan pengabdian seutuhnya kepada  Allah. (Al-Qur'an, 38:24) 
![]() Dinasti Ottoman membawa perdamaian, ketertiban, dan toleransi kemana pun ia pergi.  | 
Sejarah Islam, yang mencerminkan akhlak yang  Allah ajarkan kepada umat Islam dalam Al-Qur'an, penuh dengan  penguasa-penguasa yang adil, berkasih sayang, rendah hati, dan  bijaksana. Karena para penguasa Muslim takut kepada Allah, mereka tidak  dapat berperilaku dengan cara yang menyimpang, sombong atau kejam. Tentu  ada penguasa Muslim yang menjadi menyimpang dan keluar dari akhlak  Islami, namun mereka adalah pengecualian dan penyimpangan dari norma  tersebut. Oleh karena itu, Islam terbukti menjadi satu-satunya sistem  keimanan yang menghasilkan bentuk pemerintahan yang adil, toleran, dan  berkasih sayang selama 1400 tahun terakhir. 
Tanah Palestina adalah sebuah bukti  pemerintahan Islam yang adil dan toleran, dan memberi pengaruh kepada  banyak kepercayaan dan gagasan. Seperti telah disebutkan sebelumnya,  pemerintahan Nabi Muhammad SAW, Umar, Salahuddin, dan sultan-sultan  Ottoman adalah pemerintahan yang bahkan orang-orang non-Muslim pun  sepakat dengannya. Masa pemerintahan yang adil ini berlanjut hingga abad  kedua puluh, dengan berakhirnya pemerintahan Muslim pada tahun 1917,  daerah tersebut jatuh ke dalam kekacauan, teror, pertumpahan darah, dan  perang. 
Yerusalem, pusat tiga agama, mengalami masa  stabilitas terpanjang dalam sejarahnya di bawah Ottoman, ketika  kedamaian, kekayaan, dan kesejahteraan berkuasa di sana dan di seluruh  kesultanan. Umat Nasrani, Yahudi, dan Muslim, dengan berbagai  golongannya, beribadah menurut yang mereka sukai, dihormati  keyakinannya, dan mengikuti kebiasaan dan tradisi mereka sendiri. Ini  dimungkinkan karena Ottoman memerintah dengan keyakinan bahwa membawa  keteraturan, keadilan, kedamaian, kesejahteraan, dan toleransi kepada  daerah mereka adalah sebuah kewajiban suci.
Banyak ahli sejarah dan ilmuwan politik telah  memberi perhatian kepada kenyataan ini. Salah satu dari mereka adalah  ahli Timur Tengah yang terkenal di seluruh dunia dari Columbia  University, Profesor Edward Said. Berasal dari sebuah keluarga Nasrani  di Yerusalem, ia melanjutkan penelitiannya di universitas-universitas  Amerika, jauh dari tanah airnya. Dalam sebuah wawancara dengan surat  kabar Israel Ha’aretz, ia menganjurkan dibangkitkannya “sistem bangsa  Ottoman” jika perdamaian permanen ingin dibangun di Timur Tengah. Dalam  pernyataannya, 
Sebuah minoritas  Yahudi bisa bertahan dengan cara minoritas lainnya di dunia Arab  bertahan… ini cukup berfungsi baik di bawah Kesultanan Ottoman, dengan  sistem millet-nya. Sebuah sistem yang kelihatannya jauh lebih manusiawi  dibandingkan sistem yang kita miliki sekarang.14              
Memang, Palestina tidak pernah menyaksikan  pemerintahan “manusiawi” lain begitu pemerintahan Ottoman berakhir.  Antara dua perang dunia, Inggris menghancurkan orang-orang Arab dengan  strategi “memecah dan menaklukkannya” dan serentak memperkuat Zionis,  yang kemudian terbukti menentang, bahkan terhadap mereka sendiri.  Zionisme memicu kemarahan orang-orang Arab, dan dari tahun 1930an,  Palestina menjadi tempat pertentangan antara kedua kelompok ini. Zionis  membentuk kelompok teroris untuk melawan orang-orag Palestina, dan  segera setelahnya, mulai menyerang orang-orang Inggris pula. Begitu  Inggris berlepas tangan dan menyerahkan kekuasaannya atas daerah ini  pada 1947, pertentangan inim yang berubah menjadi perang dan pendudukan  Israel serta pembantaian (yang terus berlanjut hingga hari ini) mulai  bertambah parah. 
Agar daerah ini dapat menikmati pemerintahan  “manusiawi”nya kembali, orang-orang Yahudi harus meninggalkan Zionisme  dan tujuannya tentang “Palestina yang secara khusus bagi orang-orang  Yahudi,” dan menerima gagasan berbagi daerah dengan orang-orang Arab  dengan syarat yang sama. Bangsa Arab, dengan demikian pula, harus  menghilangkan tujuan yang tidak Islami seperti “melemparkan Israel ke  laut” atau “memenggal kepala semua orang Yahudi,” dan menerima gagasan  hidup bersama dengan mereka. Menurut Said, ini berarti mengembalikan  lagi sistem Ottoman, yang merupakan satu-satunya pemecahan yang akan  memungkinkan orang-orang di daerah ini hidup dalam perdamaian dan  ketertiban. Sistem ini mungkin dapat menciptakan sebuah lingkungan  perdamaian wilayah dan keamanan, seperti yang pernah terjadi di masa  lalu. 
Dalam bab terakhir, kita akan membahas dengan  rinci pemecahan ini. Namun sebelum kita melakukannya, mari kita tinjau  kembali masa lalu untuk meneliti kekacauan dan kekejaman yang menguasai  Palestina setelah pemerintahan Muslim berakhir.              
 ![]() 
 ![]() 
 ![]() 
 ![]() Banyak politisi dan sejarawan saat ini berpendapat bahwa model Ottoman adalah contoh yang sangat penting tentang bagaimana persoalan Timur Tengah dapat diselesaikan. 
 ![]() 
                      
   KEKERASAN MENINGKAT SETELAH OTTOMAN TURUN Peristiwa kekerasan di abad terakhir ini dimulai ketika Inggris memaksa Ottoman keluar dari wilayah ini sehingga menyebabkan orang-orang Palestina menderita penjajahan, pengusiran, dan pendudukan. Orang-orang Israel, di pihak lain, tidak pernah bisa hidup dalam keamanan.  | 
9- Karen Armstrong,              Holy War, (MacMillan: 1988), hlm. 30-31. tanda penegasan ditambahkan 
10- "Gesta Francorum, or the Deeds              of the Franks and the Other Pilgrims to Jerusalem," trans. Rosalind              Hill, (London: 1962), hlm. 91. tanda penegasan ditambahkan
11- August C. Krey, The First Crusade: The Accounts of Eye-Witnesses and Participants (Princeton & London: 1921), hlm. 261. tanda penegasan ditambahkan
12- Krey, The First Crusade, hlm. 262.
13- Armstrong, Holy War, hlm. 185. tanda penegasan ditambahkan.
14- An Interview with Edward Said by Ari Shavit, Ha'aretz, Agustus 18, 2000
              
11- August C. Krey, The First Crusade: The Accounts of Eye-Witnesses and Participants (Princeton & London: 1921), hlm. 261. tanda penegasan ditambahkan
12- Krey, The First Crusade, hlm. 262.
13- Armstrong, Holy War, hlm. 185. tanda penegasan ditambahkan.
14- An Interview with Edward Said by Ari Shavit, Ha'aretz, Agustus 18, 2000

















                    
 

0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !